Iklan

3 Penyebab Darurat Kesehatan Mental di Kalangan Anak dan Remaja di Indonesia

Thursday, December 14, 2023, December 14, 2023 WIB Last Updated 2024-04-27T09:10:23Z

BATAVIAPOST.COM
 - Menurut data dari Kementerian Kesehatan Indonesia, satu dari sepuluh orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa. Selain itu, lebih dari 19 juta orang di atas usia 15 tahun mengalami gangguan mental dan emosional, dan lebih dari 12 juta orang mengalami depresi.

Studi yang dilakukan oleh Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa menyimpulkan bahwa tingkat urgensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sangat tinggi. 

Urgensi tersebut antara lain menyebutkan bahwa kesehatan jiwa memiliki dampak multisektoral karena merupakan bagian dari kondisi kesehatan yang menyeluruh.

Sehat atau tidaknya jiwa seseorang akan mempengaruhi tingkat produktivitasnya dan menentukan kualitas hidup dan prestasi generasi penerus.

Para ahli dalam kaukus tersebut menyebutkan tiga faktor pendorong yang meningkatkan urgensi penanganan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa:

1. Stigma tentang masalah kesehatan jiwa


Stigma negatif tentang masalah kesehatan jiwa yang ada di masyarakat menjadi hambatan utama bagi seseorang untuk mencari dan mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang sesuai.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Dr. Semiarto Aji Purwanto, mencontohkan masalah kesehatan jiwa seperti gangguan bipolar atau PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) yang dialami remaja yang memiliki stigma negatif.

"Stigma menjadi kendala, orang bipolar atau PTSD dianggap gila. Hal-hal seperti ini membuat seseorang enggan mengungkapkan kondisi tersebut untuk mendapatkan penanganan yang tepat," ujarnya dalam acara deklarasi Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa di Jakarta (14/11/2023).

Stigma negatif tentunya dapat membentuk rasa identitas yang negatif bagi individu yang mengalami masalah kesehatan mental.

Mereka mungkin merasa dicap sebagai "bermasalah" dan mengalami penurunan harga diri, yang kemudian menghambat proses pemulihan.

2. Faktor lingkungan yang tidak ramah terhadap kesehatan mental


Lingkungan tertentu, terutama di tingkat keluarga, sekolah, dan tempat kerja, yang sebagian besar tidak ramah terhadap kesehatan mental menjadi faktor pemicu berikutnya.

Menurut penyintas dan motivator kesehatan mental, Marvin Sulistio, kelompok usia anak sekolah, remaja, dan dewasa produktif merasakan dampak paling parah dari perubahan cara hidup saat ini, sehingga sering mengalami benturan dengan orang tua atau orang dewasa di sekitarnya.

Marvin bukanlah seorang psikolog, namun dalam beberapa tahun terakhir, ia aktif bergabung dengan sejumlah organisasi atau komunitas yang fokus pada isu kesehatan mental.

Berdasarkan pengalamannya sebagai "pendengar" bagi mereka yang membutuhkan, masalah kesehatan mental biasanya datang dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga.

"Kebanyakan masalah yang saya dengar berasal dari keluarga, seperti pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti: kapan punya momongan, mana skripsinya, kapan wisuda, dan kok nggak kayak tetangga sebelah?" ujar Marvin.

Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak bermaksud untuk berprasangka buruk, namun bagi orang-orang yang rentan, bisa menjadi tekanan, bahkan membuat mereka merasa rendah diri dan terjebak dalam masalah kesehatan mental.

"Saya rasa itu penting untuk kita sadari. Karena banyak orang yang tidak menyadari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya memberikan tekanan pada dirinya untuk mengalami masalah kesehatan mental," kata Marvin.

Masalah dari lingkungan keluarga juga bisa muncul dari persoalan yang lebih rumit seperti beban sebagai generasi sandwich, pencarian jati diri, pengaruh media sosial, serta masalah emosional dan kekerasan dalam keluarga yang tidak disadari oleh banyak orang.

3. Diagnosis diri sendiri


Mudahnya akses informasi melalui internet membuat generasi muda menjadi sangat berpengetahuan.

Hal ini berdampak positif, namun jika tidak diimbangi dengan eksplorasi sumber-sumber yang kredibel, maka proses pengelolaan informasi akan menimbulkan guncangan. Hal ini berpotensi mengganggu kesehatan mental.

Sudah banyak kasus yang membuktikan kesalahan diagnosa akan berakibat fatal karena tidak ditangani dengan baik.

Tjin Wiguna mengatakan bahwa kita harus bijak, memilah informasi, dan mencari informasi yang akurat karena diagnosa kesehatan jiwa tidak bisa sembarangan.

"Kita juga harus meningkatkan literasi kesehatan jiwa. Jika literasi kesehatan jiwa sudah baik, pemahaman kita terhadap kesehatan jiwa juga akan lebih baik. Stigma juga bisa dikurangi, termasuk stigma pada diri sendiri, sehingga dia bisa segera mendapatkan penanganan yang tepat," ujarnya.

Sumber: Kompas




Komentar

Tampilkan

Terkini